Sabtu, 05 Mei 2012

Hak-hak Konsumen Yang Dilanggar Para Pelaku Bisnis


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah perlindungan konsumen semakin gencar dibicarakan. Permasalahan ini tidak akan pernah habis dan akan selalu menjadi bahan perbincangan di masyarakat. Selama masih banyak konsumen yang dirugikan, masalahnya tidak akan pernah tuntas. Oleh karena itu, masalah perlindungan konsumen perlu diperhatikan. Hak konsumen yang diabaikan oleh pelaku usaha perlu dicermati secara seksama. Pada era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam produk barang/pelayanan jasa yang dipasarkankepada konsumen di tanah air, baik melalui promosi, iklan, maupun penawaran barang secara langsung.
Jika tidak berhati-hati dalam memilih produk barang/jasa yang diinginkan, konsumen hanya akan menjadi objek eksploitas dari pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Tanpa disadari, konsumen menerima begitu saja barang/jasa yang dikonsumsinya. Perkembangan perekonomian, perdagangan, dan perindustrian yang kian hari kian meningkat telah memberikan kemanjaan yang luar biasa kepada konsumen karena ada beragam variasi produk barang dan jasa yang bias dikonsumsi. Perkembangan globalisasi dan perdagangan besar didukung oleh teknologi informasi dan telekomunikasi yang memberikan ruang gerak yang sangat bebas dalam setiap transaksi perdagangan, sehingga barang/jasa yang dipasarkan bisa dengan mudah dikonsumsi.
Permasalahan yang dihadapi konsumen tidak hanya sekedar bagaimana memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks dari itu yang menyangkut pada kesadaran semua pihak, baik pengusaha, pemerintah maupun konsumen itu sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen. Pengusaha menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman untuk digunakan atau dikonsumsi, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang sesuai. Pemerintah menyadari bahwa diperlukan undang-undang serta peraturan-peraturan disegala sektor yang berkaitan dengan berpindahnya barang dan jasa dari pengusaha ke konsumen. Pemerintah juga bertugas untuk mengawasi berjalannya peraturan serta undang-undang tersebut dengan baik.
Tujuan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen yang direncanakan adalah untuk meningakatkan martabat dan kesadaran konsumen, dan secara tidak langsung mendorong pelaku usaha dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan penuh rasa tanggung jawab. Yang perlu disadari oleh konsumen adalah mereka mempunyai hak yang  dilindungi oleh undang-undang perlindungan konsumen sehingga dapat melakukan sasial kontrol terhadap perbuatan dan perilaku pengusaha dan pemerintah. Dengan lahirnya undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diharapkan upaya perlindungan konsumen di indonesia dapat lebih diperhatikan.
1.2 Tujuan
Tulisan ini dibuat untuk mengetahui hak-hak konsumen apa saja yang dilanggar oleh pelaku usaha dan untuk memenuhi tugas softskill.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Konsumen
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
2.2 Azas dan Tujuan
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
Dalam Pasal 3 terdapat tujuan perlindungan konsumen:
a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari efek  negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
2.3 Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Hukum Perlindungan Konsumen merupakan cabang dari Hukum Ekonomi. Alasannya, permasalahan yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan barang / jasa. Pada tanggal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perlindungan konsumen untuk disahkan oleh pemerintah setelah selama 20 tahun diperjuangkan. RUU ini sendiri baru disahkan oleh pemerintah pada tanggal 20 april 1999.
Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah:
  • Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
  • Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
  • Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
  • Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa
  • Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
  • Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
  • Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
Dengan diundang-undangkannya masalah perlindungan konsumen, dimungkinkan dilakukannya pembuktian terbalik jika terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yang merasa haknya dilanggar bisa mengadukan dan memproses perkaranya secara hukum di badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK).
2.4 Hak Konsumen Yang Dilanggar
Dalam pasal 8 terdapat penjelasan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
a.       tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan.
b.       tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut.
c.       tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.
d.      tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
e.       tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
f.       tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.
g.      tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.
h.      tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label.
i.        tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/ dibuat.
j.        tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.
2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

KESIMPULAN
Kesadaran konsumen bahwa mereka memiliki hak,kewajiban serta perlindungan hukum atas mereka harus diberdayakan dengan meningkatkan kualitas pendidikan yang layak atas mereka, mengingat faktor utama perlakuan yang semena-mena oleh produsen kepada konsumen adalah kurangnya kesadaran serta pengetahuan konsumen akan hak-hak serta kewajiban mereka.
Pemerintah sebagai perancang,pelaksana serta  pengawas atas jalannya hukum dan UU tentang perlindungan konsumen harus benar-benar memperhatikan fenomena-fenomena yang terjadi pada kegiatan produksi dan konsumsi dewasa ini agar tujuan para produsen untuk mencari laba berjalan dengan lancar tanpa ada pihak yang dirugikan, demikian juga dengan konsumen yang memiliki tujuan untuk memaksimalkan kepuasan jangan sampai mereka dirugikan karena kesalahan yang diaibatkan dari proses produksi yang tidak sesuai dengan setandar berproduksi yang sudah tertera dalam hukum dan UU yang telah dibuat oleh pemerintah.
Sumber Referensi :
  1. http://pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-411-bab1.pdf
  2.  http://pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-412-bab2new.pdf

Label Halal dari Segi Ekonomi atau Hukum


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
            Penentuan Label halal di era zaman seperti saat ini susah sekali untuk menentukan nya. Kita harus pintar-pintar memilih makanan yang memiliki label halal resmi dari pemerintah. Mungkin dari sekian banyak makanan yang di jual, hanya beberapa % saja yang memiliki izin resmi label halal dari pemerintah. Kita tidak boleh terkecoh dengan bungkus makanan luar nya saja, tetapi harus lebih detail lagi dalam mengecek komposisi makanan tersebut. Jika kita tidak mengetahui komposisi maupun label halal dalam makanan atau minuman akibat nya akan fatal. Terlebih lagi dalam islam yang mengharamkan umatnya menjalankan apa yang telah di larang oleh ALLAH SWT. Dan inilah yang akan saya bahas lebih jauh lagi dalam tulisan ini. Yaitu Label Halal dari Segi Ekonomi.



BAB II
PEMBAHASAN

Labelisasi halal merupakan rangkaian persyaratan yang seharusnya dipenuhi oleh pelaku usaha yang bergerak dibidang pengolahan produk makanan dan minuman atau diistilahkan secara umum sebagai pangan. Pangan (makanan dan minuman) yang halal, dan baik merupakan syarat penting untuk kemajuan produk-produk pangan lokal di Indonesia khususnya supaya dapat bersaing dengan produk lain baik di dalam maupun di luar negeri. Indonesia merupakan Negara dengan mayoritas penduduknya adalah muslim. Demi ketentraman dan kenyamanan konsumen pelaku usaha wajib menampilkan labelisasi halal yang sah dikeluarkan oleh pemerintah melalui aparat yang berwenang. Dengan menampilkan labelisasi halal pada pangan yang ditawarkan ke konsumen ini menjadikan peluang pasar yang  baik sangat terbuka luas dan menjanjikan.
Isu Produk halal pada makanan dan minuman yang beredar di masyarakat bukanlah hal baru dalam upaya pengakomodasian kepentingan mayoritas masyarakat muslim di Indonesia. Umat Islam sangat berhati-hati dalam memilih dan membeli pangan dan produk lainnya yang diperdagangkan. Mereka tidak akan membeli barang atau produk lainnya yang diragukan kehalalannya. Masyarakat hanya mau mengkonsumsi dan menggunakan produk yang benar-benar halal dengan jaminan tanda halal/keterangan halal resmi yang diakui Pemerintah.
Sertifikasi halal dan labelisasi halal merupakan dua kegiatan yang berbeda tetapi mempunyai keterkaitan satu sama lain. Sertifikasi halal dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan pengujian secara sistematik untuk mengetahui apakah suatu barang yang diproduksi suatu perusahaan telah memenuhi ketentuan halal. Indonesia dalam menghadapi perdagangan bebas tingkat regional, internasional dan global, dikhawatirkan sedang dibanjiri pangan dan produk lainnya yang mengandung atau terkontaminasi unsur haram. Dalam teknik pemrosesan, penyimpanan, penanganan, dan pengepakan acapkali digunakan bahan pengawet yang membahayakan kesehatan atau bahan tambahan yang mengandung unsur haram yang dilarang dalam agama Islam.
Sertifikasi dan penandaan kehalalan baru menjangkau sebagian kecil produsen di Indonesia. Data Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia pada tahun 2005 menunjukkan bahwa tidak lebih dari 2.000 produk yang telah meminta pencantuman tanda halal. Data dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) menunjukkan bahwa permohonan sertifikasi halal selama 11 tahun terakhir tidak lebih 8.000 produk dari 870 produsen di Indonesia. Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, bahan pangan diolah melalui berbagai teknik pengolahan dan metode pengolahan baru dengan memanfaatkan kemajuan teknologi sehingga menjadi produk yang siap dipasarkan untuk dikonsumsi masyarakat di seluruh dunia. Sebagian besar produk industri pangan dan teknologi pangan dunia tidak menerapkan sistem sertifikasi halal.
Disamping jaminan pangan baik, pemberian jaminan halal akan meningkatkan daya saing produk pangan lokal Indonesia terhadap produk-produk impor yang tidak mendapatkan sertifikat halal. Hukum halal pangan bagi umat Islam sebetulnya tidak hanya merupakan doktrin agama saja tetapi terbukti secara ilmiah adalah baik, sehat dan dapat diterima akal (Scientifically sound), jadi pangan baik dan halal, bermanfaat dan baik untuk semua umat manusia.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat di ambil ialah yang berhak menentukan label halal atau tidak nya  suatu jenis makanan atau minuman ialah pemerintah tepatnya Majelis Ulama Indonesia (MUI). Karena jenis makanan atau minuman sebelum di konsumsi oleh konsumen harus memiliki label halal terlebih dahulu. Jika tidak akan membahayakan kesehatan para konsumen. Terlebih lagi di negara kita yaitu Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, yang mengharamkan mengkonsumsi makanan atau minuman yang telah dilarang oleh ALLAH SWT. Dan jaminan halal akan meningkatkan daya saing produk pangan lokal Indonesia terhadap produk-produk impor yang tidak mendapatkan sertifikat halal.




Sumber            :

Siapa yang Merekomendasikan Halal?


BAB I
PENDAHULUAN

Selama ini belum ada lembaga resmi yang mengeluarkan label halal. Kalaupun ada label halal, tapi itu lebih dicantumkan oleh produsen saja. Pernah ada kesepakan antara MUI dan DepKes bawha yang berwenang memberikan label halal itu adalah MUI, namun karena sifatnya yang lisan belum dituangkan dalam bentuk sertifikasi makanya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Lagipula MUI tidak mempunyai kekuatan eksekusi (pelaksana) apabila ada pengusaha yang tidak mengurus label halal pada produknya.


BAB II
PEMBAHASAN

Prof. Aisyah Girindra, dari LPPOM MUI mengatakan bahwa institusi ini hanya mengeluarkan sertifikat halal, tidak pada masalah label halal. Adapun pelabelan halal mengikuti peraturan yang telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan. Produsen dapat mencantukan label halal pada produknya berdasarkan rekomendasi dari LPPOM MUI. Pada label dapat dituliskan nomor sertifikat yang telah dikeluarkan oleh LPPOM MUI.

Dalam ketentuan UUP, UUPK, dan KepMen menekankan adanya pencantuman label halal, namun sebelumnya ada syarat yang harus di tempuh oleh sebuah perusahaan produk pangan, yaitu dengan cara memperoleh sertifikat halal dengan cara mendaftarkan produknya untuk diaudit halal. Produsen dapat mencantukan label halal pada produknya berdasarkan rekomendasi dari LPPOM MUI. Pada label dapat dituliskan nomor sertifikat yang telah dikeluarkan oleh LPPOM MUI.

Kesadaran para pengusaha produk makanan maupun minuman untuk memperoleh sertifikat halal pada produknya lebih disebabkan pada realitas banyaknya konsumen umat Islam. Masalah ini yang selanjutnya memunculkan banyak pengusaha yang asal mencantumkan label halal, tanpa prosedur yang disyaratkan berdasarkan sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, kosmetika dan Makanan Majelis Ulama Indonesia atau yang disingkat LPPOM-MUI berdasarkan UUP dan Undang-undang UUPK. Legalisasi Halal yang berupa Sertifikat Halal terhadap suatu produk pangan bukan sekedar jaminan terhadap ketentraman konsumen, tetapi juga jaminan bahwa produknya akan semakin dibutuhkan oleh konsumen.

Untuk mendapatkan produk pangan yang halal, masyarakat sebagai konsumen membutuhkan perlindungan dari penguasa atau pemerintah. LPPOM MUI adalah lembaga yang bertugas untuk meneliti, mengkaji, menganalisa dan memutuskan apakah produk-produk baik pangan dan turunannya, obat-obatandan kosmetika apakah aman dikonsumsi baik dari sisi kesehatan dan dari sisi agama Islam yakni halal atau boleh dan baik untuk dikonsumsi bagi umat Muslimkhususnya di wilayah Indonesia. Selain itu, memberikan rekomendasi, merumuskan ketentuan dan bimbingan kepada masyarakat.

Lembaga ini didirikan atas keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI)berdasarkan surat keputusan nomor 018/MUI/1989, pada tanggal 26 Jumadil Awal1409 Hijriah atau 6 Januari 1989.

Kehalalan produk makanan, minuman, obat dan kosmetika perlu mendapat sertifikasi dari LPPOM MUI. Kehalalan produk pangan harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan yakni tidak mengandung bahan atau unsur pangan yang diharamkan oleh Islam seperti tercampur babi atau produk turunannya. Produk tersebut tidak menimbulkan dampak buruk bagi pemakainya karena Islam mengharamkan segala jenis pangan yang terbukti merusak kesehatan manusia secara langsung maupun tidak langsung, terkecuali dalam keadaan darurat.

Sertifikat Halal yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk setiap produk makanan dan minuman yang dijual kepada masyarakat sudah merupakan jaminan, sehingga di masyarakat tidak timbul kecurigaan dan tanda tanya terhadap kandungannya. Sertifikasi halal mutlak dibutuhkan untuk menghilangkan keraguan masyarakat akan kemungkinan adanya bahan baku, bahan tambahan atau bahan penolong yang tidak halal dalam suatu produk yang dijual.

Peran dari Pemerintah sangat penting terutama dalam melakukan pengawasan, hal ini tercantum dengan jelas baik dalam UUPK. Pengawasan dilakukan dengan cara yang tepat antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat sehingga terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab, dan menghindari dari tindak tanduk para pelaku usaha sekarang, yang masih sering mementingkan keuntungan pribadi  dengan memasang label yang tidak benar pada pangan yang dijualnya maupun dengan memberikan iklan yang menyesatkan masyarakat.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan surat keputusan nomor 018/MUI/1989, pada tanggal 26Jumadil Awal 1409 Hijriah atau 6 Januari 1989. Kehalalan produk makanan, minuman, obat dan kosmetika perlu mendapat sertifikasi dari LPPOM MUI Sertifikat Halal yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk setiap produk makanan dan minuman yang dijual kepada masyarakat sudah merupakan jaminan, sehingga di masyarakat tidak timbul kecurigaan dan tanda tanya terhadap kandungannya. Sertifikasi halal mutlak dibutuhkan untuk menghilangkan keraguan masyarakat akan kemungkinan adanya bahan baku, bahan tambahan atau bahan penolong yang tidak halal dalam suatu produk yang dijual.

Sumber:
  • http://www.halalmui.org/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=87&Itemid=357&lang=in

Sejarah Hukum di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Periode Kolonialisme
Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.

a.         Periode VOC

Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk:
1) Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda;
2) Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan
3) Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.
Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan hak-hak dasar rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di masa itu.

b.         Periode liberal Belanda

Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas.
Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta.

c.         Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang

Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah: 
  1. Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum
  2. Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi
  3. Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi
  4. Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas
  5. Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum. 
Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan: 
  1. Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan
  2. Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.
Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa perubahan perundang-undangan yang terjadi:
  1. Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina
  2. Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. 
Di bidang peradilan, pembaharuan yang dilakukan adalah:
  1. Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan
  2. Unifikasi kejaksaan
  3. Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan
  4. Pembentukan lembaga pendidikan hukum
  5. Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan orang-orang pribumi.
B.       Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal

a.         Periode Revolusi Fisik

Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di dalam bidang peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi:
  1. Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan dengan melakukan penyederhanaan
  2. Mengurangi dan membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan swapraja, kecuali badan-badan pengadilan agama yang bahkan dikuatkan dengan pendirian Mahkamah Islam Tinggi.

b.         Periode Demokrasi Liberal

UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia. Namun pada masa ini pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang berjalan hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.

C.       Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru

a.         Periode Demokrasi Terpimpin

Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat berpengaruh dalam dinamika hukum dan peradilan adalah: 
  1. Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif
  2. Mengganti lambang hukum ?dewi keadilan? menjadi ?pohon beringin? yang berarti pengayoman
  3. Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara langsung atas proses peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965
  4. Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional dan kontekstual.

b.         Periode Orde Baru


Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang perundang-undangan, rezim Orde Baru? membekukan? pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama membentuk beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan: 
  1. Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif
  2. Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada masa orde baru tak ada perkembangan yang baik dalam hukum Nasional.
D.       Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat kali amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan negara, beberapa pembaruan formal yang mengemuka adalah:
  1. Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan
  2. Pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia
  3. Pembaruan sistem ekonomi.
Penyakit lama orde baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh mengakar pada masa pasca orde baru, bahkan kian luas jangkauannya. Selain itu, kemampuan perangkat hukum pun dinilai belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku semacam itu. Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim (kini ditambah advokat) dilihat masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan Kejaksaan Agung meneruskan proses peradilan mantan Presiden Soeharto, peradilan pelanggaran HAM, serta peradilan para konglomerat hitam. Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber daya hukumnya secara mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan. Walaupun begitu, pembaruan hukum tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Ilmu hukum Indonesia adalah suatu sistem pengetahuan yang mempelajari tentang hukum-hukum terdapat di Indonesia, sehingga kita dapat mengenal tentang hukum di Indonesia. Dari Makalah ini kita dapat mengetahui sejarah hukum di Indonesia sehingga kita dapat lebih mendalami dan memahami tentang hukum secara singkat dan jelas, yang kedepannya akan mendorong kita agar berhati-hati dalam bertindak. Di dalam makalah ini juga telah diterangkan berbagai hukum yang berlaku di Indonesia yang dilihat dari sejarah hukum Indonesia, sehingga kita dapat mempunyai pedoman dan pengetahuan yang lebih tentang hukum.


Sumber:
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia
  •  http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CDIQFjAA&url=http%3A%2F%2Fimages.flowst.multiply.multiplycontent.com%2Fattachment%2F0%2FTCB13QooC0sAABZH40c1%2FSejarah%2520Hukum%2520di%2520Indonesia.doc%3Fkey%3Dflowst%3Ajournal%3A20%26nmid%3D344912228&ei=PTOhT8vKOYnnrAey9JT1CA&usg=AFQjCNFjvTraBrafnYPEB6HD0kYUCrQRkQ