Rabu, 28 Maret 2012

Softskill 2012

Subjek dan Objek Hukum

Pengertian Subyek Hukum

Subyek hukum adalah setiap makhluk yang berwenang untuk memiliki, memperoleh, dan menggunakan hak-hak kewajiban dalam lalu lintas hukum.

Jenis Subyek Hukum terdiri atas :

· Manusia Biasa

Manusia sebagai subyek hukum telah mempunyai hak dan mampu menjalankan haknya dan dijamin oleh hukum yang berlaku dalam hal itu menurut pasal 1 KUH Perdata menyatakan bahwa menikmati hak kewarganegaraan tidak tergantung pada hak kewarganegaraan. Setiap manusia pribadi (natuurlijke persoon) sesuai dengan hukum dianggap cakap bertindak sebagai subyek hukum kecuali dalam Undang-Undang dinyatakan tidak cakap seperti halnya dalam hukum telah dibedakan dari segi perbuatan-perbuatan hukum adalah sebagai berikut :

1. Manusia yang harus menataati hukum adalah manusia yang beranjak dewasa, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan berusia 21 tahun.

2. Manusia yang belum dewasa atau belum mencapai usia 21 tahun, tidak diwajibkan mentaati hukum, tapi tetap akan dikenakan sanksi apabila melanggar hukum yang berlaku.

· Badan Hukum

Badan hukum sebagai subyek hukum dapat bertindak hukum (melakukan perbuatan hukum) seperti manusia dengan demikian, badan hukum sebagai pembawa hak dan tidak berjiwa dapat melalukan sebagai pembawa hak manusia seperti dapat melakukan persetujuan-persetujuan dan memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya, oleh karena itu badan hukum dapat bertindak dengan perantara pengurus-pengurusnya.

Apabila suatu perkumpulan ingin mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum bisa dengan cara sbb :

1. Didirikan dengan Akta Notaris.

2. Didaftarkan di Kantor Pengadilan Negara setempat.

3. Memiliki pengesahan Anggaran Dasar kepada Menteri HAM dan Kehakiman. sedangkan khusus untuk badan hukum dana pensiun pengesahan anggaran dasarnya dilakukan Menteri Keuangan.

4. Diumumkan oleh Negara.

Badan hukum dibedakan dalam 2 bentuk yaitu :

· Badan Hukum Publik (Publiek Rechts Persoon)

adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan publik untuk yang menyangkut kepentingan publik atau orang banyak atau negara umumnya. Dengan demikian badan hukum publik merupakan badan hukum negara yang dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan perundang-undangan yang dijalankan secara fungsional oleh eksekutif (Pemerintah) atau badan pengurus yang diberikan tugas untuk itu, seperti Negara Republik Indonesia, Pemerintah Daerah tingkat I dan II, Bank Indonesia dan Perusahaan Negara.

· Badan Hukum Privat (Privat Recths Persoon)

Badan Hukum Privat (Privat Recths Persoon) adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum sipil atau perdata yang menyangkut kepentingan banyak orang di dalam badan hukum itu. Dengan demikian badan hukum privat merupakan badan hukum swasta yang didirikan orang untuk tujuan tertentu yakni keuntungan, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain menurut hukum yang berlaku secara sah misalnya perseroan terbatas, koperasi, yayasan, badan amal.

Pengertian Objek Hukum :

Obyek hukum menurut pasal 499 KUH Perdata, yakni benda. Benda adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum atau segala sesuatu yang menjadi pokok permasalahan dan kepentingan bagi para subyek hukum atau segala sesuatu yang dapat menjadi obyek hak milik.

Jenis-jenis Objek Hukum :

1. Benda yang berwujud

Benda yang berwujud adalah suatu benda yang dapat dirasakan dengan panca indra, dapat dilihat, diraba. terdiri dari benda yang dapat berubah contohnya :

· Benda Bergerak

Benda ini bergerak karena sifatnya, menurut KUH Perdata adalah benda yang dapat dipindahkan dan memiliki wujud seperti meja, kursi. Menurut KUH Perdata ada hak-hak atas benda bergerak contohnya hak pakai benda tsb, dan saham-saham perseroan terbatas.

· Benda Tidak Bergerak

Benda yang tidak bergerak karena sifatnya dapat dicontohkan seperti tanah, gedung. Benda tidak bergerak ini menurut undang-undang, ini berwujud hak-hak atas benda-benda yang tidak bergerak misalnya hak pemungutan hasil atau pembagian hasil, hak pakai atas benda tidak bergerak, dan Hipotik.

4 hal yang berhubungan erat dengan benda bergerak dan tidak bergerak :

1. Kepemilikian, dalam hal benda bergerak berlaku dalam pasal 1977 KUH Perdata, yaitu kepemilikan dari barang tsb adalah pemilik asli benda tsb, sedangkan untuk benda tidak bergerak, tidak disertai dengan kepemilikan tetap.

2. Penyerahan, yakni terhadap benda bergerak dapat dilakukan penyerahan secara nyata (hand by hand) , sedangkan untuk benda tidak bergerak penyerahan dapat dilakukan dengan balik nama.

3. Kadaluwarsa, benda bergerak tidak memiliki kadaluwarsa, sedangkan benda tidak bergerak mengenal kadaluwarsa.

4. Pembebanan, yakni pembebanan yang dilakukan terhadap benda bergerak yang dilakukan dalam sebuah pegadaian, sedangkan untuk benda tidak bergerak seperti hipotik adalah hak tanggungan untuk tanah serta benda-benda selain tanah digunakan fidusia.

2. Benda yang tidak bersifat kebendaan.

Benda yang tidak bersifat kebendaan adalah suatu benda yang tidak dapat dilihat tapi suatu saat dapat dirasakan kehadirannya, dan di realisasikan sebagai kenyataan. contoh; merk, hak paten, hak cipta.

http://tulisanadalahtugas.blogspot.com/2011/03/subjek-dan-objek-hukum.html

Sidang Pleno Komite III DPD RI Membahas Urgensi RUU Jaminan Produk Halal

Jakarta, dpd.go.id Masyarakat sangat menunggu kehadiran UU Jaminan Produk Halalsebagai jaminan dari pemerintah bahwa produkyang dikonsumsi halal. Demikian disampaikan oleh Darmayanti Lubis dalam Sidang Pleno Komite III DPD RI (20/02/2012). “Undang-undang ini merupakan kebutuhan masyarakat karena mereka membutuhkan UU yang menjamin kehalalan makanan juga kosmetik. Mereka juga sangat berharap legislatif dapat menggolkan RUU JPH ini,” papar Anggota DPD RI dari Provinsi Sumatera Utara ini.

Bertempat di Gedung B DPD RI, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, hal senada juga disampaikan oleh Ahmad Jajuli dari Provinsi Lampung bahwa mayoritas masyarakat setuju dengan RUU JPH ketika DPD RI melakukan jaring aspirasi. Namun, karena RUU ini sedikit sensitif dan menyangkut keyakinan atau agama, Jajuli berpesan, “Catatannya, jangan sampai hal ini menimbulkan keretakan di tubuh NKRI. DPD harus fokus dalam memberikan ketenangan kepada warga negara.”

Di sisi lain, Sofyan Yahya berpandangan bahwa RUU JPH tidak diperlukan mengingat sudah ada beberapa UU yang mengatur seperti UU Pangan, UU Kesehatan, UU Perlindungan Konsumen, dan lain-lain. “Tidak ada kekosongan hukum yang mengharuskan adanya regulasi ini. Yang perlu kita perbincangkan adalah lembaganya, mana yang akan ditekankan untuk memberikan sertifikat halal,” ujar Anggota DPD RI dari Provinsi Jawa Barat ini, yang juga didukung oleh Pendeta Rugas Binti.

Lebih lanjut, Sofyan justru mengusulkan pemberian label haram pada makanan yang bisa mengindikasikan bahwa makanan tanpa label haram berarti halal. “Seperti yang kita tahu, dalam Islam hukum asal semuamakanan itu adalah mubah kecuali ada nash/dalil yang menyatakan itu haram. Pada akhirnya, keyakinan dan keimanan yang harus menjaga kehidupan manusia,” terangnya.

Mendukung pendapat Sofyan, Wakil Ketua Komite III mengatakan bahwa halal atau haram adalah persoalan keyakinan. “Menurut saya, apa yang ada sekarang ini sudah pada proporsinya. MUI memang bukan lembaga negara, tetapi diakui negara sebagai representasi umat Islam dalam menentukan halal tidaknya suatu produk,” Moh. Syibli Sahabuddin menjelaskan.

Komite III belum mengambil kesimpulan dalam Sidang Pleno kali ini karena agenda sidang baru dalam taraf menghimpun pandangan dari anggota. Namun, Istibsyaroh menegaskan bahwa RUU JPH tetap diperlukan karena lebih spesifik ketimbang UU yang sudah ada yang masih bersifat umum. “Kita juga perlu mengkritisi pengusaha yang tidak memberikan label halal di samping pemberian sanksi pada pengusaha yang tidak mengajukan sertifikasi halal lagi setelah tiga sampai lima tahun,” pungkas anggota DPD RI dari Provinsi Jawa Timur ini yang juga merupakan Wakil Ketua Komite III. (af)

http://dpd.go.id/2012/02/sidang-pleno-komite-iii-dpd-ri-membahas-urgensi-ruu-jaminan-produk-halal/

Tugas Softskill Maret 2012

Nama : Tota Fitroh Nurjanah
Kelas : 2EB19
NPM : 26210937

Kaidah & Norma Hukum

* Kaidah Hukum
Untuk memahami masalah hukum dan kaidahnya, tidak lepas dari pemahaman tentang kehidupan manusia. Manusia terlahir sebagai makhluk sosial yang harus selalu hidup bermasyarakat dan berkelompok. Dengan demikian, manusia akan selalu mengadakan interaksi dengan manusia lainnya.

Hal ini tentunya dapat menimbulkan hubungan yang menyenangkan atau menimbulkan pertentangan. Bahkan, konflik. Maka dari itu, aturan dan kaidah hukum ini diadakan untuk mengatur hubungan antarmanusia dalam bersosialisasi.

Kaidah hukum dapat diartikan sebagai rumusan atau peraturan yang dibuat secara resmi oleh pemerintah atau penguasa negara yang bersifat mengikat dan memaksa setiap warganya. Mertokusumo (2000: 117) menyebutkan bahwa kaidah hukum adalah perumusan suatu pandangan yang objektif tentang penilaian atau sikap yang sepatutnya dilakukan atau tidak dilakukan, yang dilarang atau dianjurkan untuk dijalankan.

Dengan demikian, hukum sebagai kaidah merupakan pedoman atau patokan dalam bersikap atau melakukan perbuatan yang dipandang pantas atau baik dilakukan.

Fungsi Kaidah Hukum

Kaidah hukum dibuat untuk menciptakan keadilan dan memperoleh kedamaian. Kedamaian dalam hal ini adalah keserasian antara (nilai) ketertiban ekstern antarpribadi dengan nilai ketenangan intern pribadi.

Menurut Soekanto (1993: 50-51), fungsi kaidah hukum dalam sistem hukum Indonesia di antaranya adalah mengusahakan kesebandingan tatanan dalam masyarakat (equity) dan memberikan kepastian dan hukum.

Isi Kaidah Hukum

Berdasarkan isinya, kaidah hukum dapat dibedakan menjadi tiga.

1. Suruhan (gebod). Dalam hal ini, kaidah hukum berisi perintah yang wajib dilaksanakan oleh setiap warganya.
2. Larangan (verbod). Dalam hal ini, kaidah hukum berisi larangan yang harus dipatuhi oleh warga supaya tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak diperkenankan oleh pemerintah.
3. Kebolehan (mogen). Dalam hal ini, kaidah hukum berisi perkenan atau segala sesuatu yang boleh dilakukan setiap warganya. Misalnya, dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 29 tentang Perjanjian Perkawinan, bahwa kedua belah pihak dibolehkan mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, baik dilakukan pada waktu perkawinan atau sebelum perkawinan.

Sifat Kaidah Hukum

Berdasarkan sifatnya, kaidah hukum terbagi menjadi dua jenis, yaitu kaidah hukum imperatif dan fakultatif. Hukum imperatif merupakan kaidah hukum yang bersifat memaksa dan mengikat siapa saja.

Sementara kaidah hukum fakultatif, merupakan kaidah hukum yang tidak mengikat, namun bersifat sebagai pelengkap sehingga dapat dikesampingkan dengan perjanjian oleh para pihak.

Bentuk Kaidah Hukum

Menurut bentuknya, kaidah hukum dapat dibedakan menjadi kaidah hukum tertulis dan kaidah hukum tidak tertulis. Kaidah hukum tertulis umumnya dituangkan dalam bentuk tulisan pada undang-undang dan sebagainya.

Kelebihan kaidah hukum yang tertulis adalah adanya kepastian hukum, mudah diketahui, dan penyederhanaan hukum serta kesatuan hukum. Kaidah hukum tidak tertulis umumnya berkembang dalam masyarakat dan bergerak sesuai perkembangan masyarakat.

* Norma Hukum
Norma hukum adalah aturan sosial yang dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu, misalnya pemerintah, sehingga dengan tegas dapat melarang serta memaksa orang untuk dapat berperilaku sesuai dengan keinginan pembuat peraturan itu sendiri. Pelanggaran terhadap norma ini berupa sanksi denda sampai hukuman fisik.
Contoh :
- Tidak melanggar rambu lalu-lintas walaupun tidak ada polantas
- Menghormati pengadilan dan peradilan di Indonesia
- Taat membayar pajak
- Menghindari KKN / korupsi kolusi dan nepotisme


http://diditprasetya91.blogspot.com/2011/02/kaidah-norma-hukum.html